
Intan Jaya

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang sejak lahir dan merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Negara berkewajiban melindungi hak setiap warga negaranya.
Di Indonesia tidak jarang pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai daerah. Pelanggaran tersebut juga sering dilakukan oleh siapa pun tidak terkecuali oleh anggota atau aparatur negara, seperti yang terjadi di Papua pada saat pemerintah memberlakukan Otonomi Khusus di Papua pada tahun 2001-2008.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dan yang melatarbelakangi terjadinya Otonomi Khusus di Papua dikarenakan sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Namun seiring dengan adanya otonomi yang diberikan pemerintah tersebut terjadi pula berbagai pelanggaran-pelanggaran HAM yang di latarbelakangi oleh ketidak berjalannya otonomi di Papua.
Masalah yang terjadi pada konflik Papua ini adalah keinginan masyarakat Papua untuk pemenuhan atas hak politik, sosial, dan ekonomi penduduk asli. Dan semuanya itu dianggap oleh masyarakat Papua belum dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk memecahkan masalah tersebut dengan mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) di Papua. Otonomi khusus ini mulai diberlakukan sejak tahun 2001 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Ditetapkannya Otonomi Khusus di Papua ternyata belum memberikan solusi atas tuntutan masyarakat di daerah tersebut. Terbukti pasca ditetapkannya kebijakan pemerintah tersebut di tanah papua, justru otsus menjadi penjebab masalah pelanggaran HAM baik secara fisik dan psikis masih terjadi.
Dalam suatu sistem demokrasi di mana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi TNI/POLRI didalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi TNI/POLRI. Dengan demikian posisi TNI/POLRI atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman fisik. Namun pertanyaannya. belum, justru POLTRI/TNI (militer) menjadi pelaku pembunuh dan pemerkosa, oleh warga papua. Kasus HAM di Papua merupakan kasus HAM yang terberat dikarenakan sejak berlakunya atau ditetapkannya Papua berintegrasi bersama NKRI sejak 1 Desember 1962 maka sejak itu pula Papua Barat dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer karena situasi pada saat itu masih labil, sering terjadinya gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Semenjak beralihnya kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru dominasi Militer sangat besar.
Adapun rumusan maslah
Rumusan Masalah
Faktor apa yang mempengaruhi TNI/POLRI campur tangan dalam konflik di Papua?
Apakah tugas dan kewajiban sebagai TNI/POLRI Indonesia sudah menjaga stabilitas dan integritas Negara?
Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan Faktor yang mempengaruhi campur tangan TNI/POLRI dalam konflik di Papua
Untuk mengetahui tugas dan kewajiban sebagai TNI/POLRI Indonesia?
Menganalisis alasan TNI/POLRI campur tangan dalam konflik di Papua.
mendeskripsikan kondisi Hak Asasi Manusia di Papua pasca Otonomi Khusus.
Metode Penulisan
Adapun penulisan proposal yang saya buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Penulisan dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan bahasan sumber tulisan. Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internal; Menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunya dalam sebuah historiografi. saya berusaha untuk menampilkan sebuah kajian historis tentang masalah yang terjadi di Papua dengan interpretasi yang mendalam
Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan isi dari proposal ini, saya membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi proposal. Dimulai dengan kata pengantar daftar isi, kemudian dilanjutkan dengan bab satu pendahuluan, bab dua pembahasan, tiga kesimpulan, dan terahir daftar pustaka.
Dalam bab satu saya membahasa mengenai latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
Dalam bab dua berisi tentang pembahas tentang pengertian hak asasi manusia serta penegak hukum, konflik Papua, campur tangan TNI/POLRI, Hak Asasi Manusia di Papua pasca Otonomi Khusus, serta proses pengadilan HAM di Papua. Pada bab tiga ini berisi kesimpulan dari isi materi dan diakhri dengan daftar pustaka.
BAB II PEMBAHASAN
TINDAKAN KEJAHATAN DAN PELANGGARAN HAM OLEH TNI/POLRI
Dalam suatu sistem demokrasi di mana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi TNI/POLRI didalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi TNI/POLRI. Dengan demikian posisi TNI/POLRI atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman fisik. Namun pertanyaannya apakah tugas dan kewajiban sebagai TNI/POLRI Indonesia sudah menjaga stabilitas dan integritas Negara. Tentu belum, justru TNI/POLRI menjadi pelaku pembunuh dan pemerkosa, oleh warga papua. apakah ada undang-undang yang mengatur untuk melakukan hal ini.
TNI/POLRI sebagai keamanan yang ada di setiap Negara termasuk di Indonesia,
POLRI bertugas sebagai mengatur, mengawasih, menjaga
Kasus HAM di Papua merupakan kasus HAM yang terberat dikarenakan sejak berlakunya atau ditetapkannya Papua berintegrasi bersama NKRI sejak 1 Desember 1962 maka sejak itu pula Papua Barat dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer karena situasi pada saat itu masih labil, sering terjadinya gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Semenjak beralihnya kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru dominasi Militer sangat besar sehingga dalam ungkapan singkat,
Sebenarnya, masalah yang terjadi di Papua ini adalah keinginan masyarakat Papua untuk pemenuhan atas hak politik, sosial, dan ekonomi penduduk asli. Dan semuanya itu dianggap oleh masyarakat Papua belum dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk memecahkan masalah tersebut dengan mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) di Papua. Otonomi khusus ini mulai diberlakukan sejak tahun 2001 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001;
Ditetapkannya Otonomi Khusus di Papua ternyata belum memberikan solusi atas tuntutan masyarakat di daerah tersebut. Terbukti pasca ditetapkannya kebijakan pemerintah tersebut di tanah papua, justru otsus menjadi penjebab masalah pelanggaran HAM baik secara fisik dan psikis masih terjadi.
KONDISI HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA PASCA OTONOMI KHUSUS
Selama reformasi berlangsung kondisi hak asasi manusia tidak menjadi lebih baik dibandingkan ketika rezim Soeharto berkuasa. Aksi-aksi kekerasan dan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia terus berlangsung dan memprihatinkan. Hampir semua peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia itu berkaitan erat dengan operasi-operasi militer penumpasan separatisme yang dilancarkan. Terbukanya ruang berekspresi dan penyampaian pendapat ketika reformasi bergulir memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasinya. Namun, ekspresi masyarakat Papua ditanggapi dengan tindakan represif aparat keamanan, apalagi ketika aspirasi merdeka terus didengungkan. Menjaga keutuhan NKRI menjadi legitimasi aparat keamanan untuk terus melakukan pengejaran dan penumpasan Operasi Papua. Akibatnya aksi kekerasan kerap dialami masyarakat biasa.
Beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di Papua tetap mengambil peran atas terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Eksploitasi besar-besaran, kerusakan lingkungan dan penyerobotan hak adat terus berlangsung. Tuntutan masyarakat atas
perlakuan tidak adil dijawab dengan kehadiran aparat keamanan dan operasi-operasi penumpasan separatisme, Sementara itu, berlakunya Otonomi Khusus belum menjadikan kondisi Hak Asasi Manusia lebih baik dari sebelumnya. Ketidaksiapan PEMDA dan campur tangan pusat menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Sementara itu, dinamika politik lokal, praktik-praktik korupsi menjadikan Papua terus dalam keterpurukan. Sehingga berbagai bentuk hak ekonomi, sosial dan budaya terabaikan
Sejak 1 Januari 2002 secara resmi diberlakukan otonomi khusus (Otsus) bagi Papua, sejak itu pula nama Irian Jaya diganti dengan Papua. Namun, pemberlakuan Otsus ini belum disertai dengan perangkat peraturan perundang-undangan lainnya. Aktivitas pemprov pada tahun pertama disibukkan dengan sosialisasi dan edukasi UU Otsus Papua tersebut ke birokrasi di seluruh Papua sembari menyiapkan perangkat-perangkat pendukung, di antaranya MRP. Dalam tahun pertama, perangkat yang paling penting, yaitu Majelis Rakyat Papua, juga belum terbentuk akibat pemerintah pusat begitu lamban menyusun peraturan pemerintahnya. Di sisi lain, belum siapnya Otonomi Khusus, pemerintah pusat berencana untuk melaksanakan pemekaran Papua menjadi tiga Provinsi. Rencana tersebut telah menimbulkan pro-kontra di antara elit politik lokal dan masyarakat Papua. Masing-masing mendesak pemerintah untuk menjalankan pemekaran dan menghentikan pemekaran. Sampai tahun 2003, isu politik di Papua dipanaskan dengan pro-kontra pencabutan UU Nomor 45 Tahun 1999 dan Inpres nomor 1 tahun 2001 tentang pemekaran wilayah Papua.
Ketidaksiapan pemeritah daerah dan pro-kontra pemekaran Papua mengakibatkan kondisi Hak Asasi Manusia memburuk di dua ranah sekaligus. Praktik-praktik korupsi, eksploitasi Sumber Daya Alam untuk mengejar pendapatan daerah, kebijakan penataan kota, dan arus investasi yang dibuka lebar telah menambah persoalan bagi pemenuhan Hak Asasi Manusia di Papua. Konflik horizontal yang berujung pada kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia serta kondisi Hak ekosob yang belum tertangani yang menyebabkan peristiwa-peristiwa kelaparan, serangan dan wabah penyakit, gagal panen kerap terjadi di tahun-tahun berikutnya. Konflik yang terjadi akibat pro-kontra pemekaran adalah Peristiwa Timika yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2003. Pasca pendeklarasian propinsi Irian Jaya Tengah, telah berakibat 8 orang meninggal dunia, 112 orang luka-luka, aksi pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya serta beberapa individu mendapat teror dan intimidasi.
PROSES PENGADILAN HAM DI PAPUA
Kasus pelanggaran HAM di Papua dinilai tidak jelas dan banyak pelaku kasus pelanggaran HAM Papua tidak terungkap, sehingga dibutuhkan adanya Pengadilan HAM di Papua, namun ironisnya hingga sekarang ini belum ada pengadilan yang mampu memecahkan permasalahan HAM yang terjadi di daerah tersebut.
Salah satu kasus pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini masih belum jelas adalah Kasus Abepura. Kasus yang terjadi pada tahun 2005 ini masih belum menemui titik terang.
Apa yang dilakukan beberapa lembaga sosial yang merasa simpati terhadap kondisi HAM di Papua ini pada dasarnya adalah menuntut ketegasan dari pemerintah Indonesia agar bertindak dan tidak menutup mata terhadap banyaknya kasus pelanggaran HAM terutama oleh pihak militer yang terjadi di bumi Papua.
PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.
konsep HAM ini juga diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
Hak untuk hidup.
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas.
Hak mengembangkan diri.
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Hak memperoleh keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
Hak atas kebebasan pribadi.
Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
Hak atas rasa aman.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Hak atas kesejahteraan.
Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
PENGERTIAN OTONOMI KHUSUS
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah:
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
Provinsi Aceh;
Provinsi Papua; dan
Provinsi Papua Barat.
PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS DI PAPUA. UU NOMOR 21 TAHUN 2001
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. Ada pun yang melatar belakangi terjadinya Otonomi khusus di Papua dikarenakan sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
Penegakan Hukum
Kepolisian
Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan. Namun kenyataan sampai saat ini polisi gagal untuk menjaga mengawasih dan mengarahkan warga papua itu sendiri, melainkan justru polisi itu yang penyebab masalah atau sumber masalah.
Kejaksaan
Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. Namun sampai saat ini tugas dan tanggung jawab sebagai penegak hukum belum terwujud.
Peradilan
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
PROSES PENGADILAN HAM DI PAPUA
Kasus pelanggaran HAM di Papua dinilai tidak jelas dan banyak pelaku kasus pelanggaran HAM Papua tidak terungkap, sehingga dibutuhkan adanya Pengadilan HAM di Papua, namun ironisnya hingga sekarang ini belum ada pengadilan yang mampu memecahkan permasalahan HAM yang terjadi di daerah tersebut.
Salah satu kasus pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini masih belum jelas adalah Kasus Abepura. Kasus yang terjadi pada tahun 2005 ini masih belum menemui titik terang.
Apa yang dilakukan beberapa lembaga sosial yang merasa simpati terhadap kondisi HAM di Papua ini pada dasarnya adalah menuntut ketegasan dari pemerintah Indonesia agar bertindak dan tidak menutup mata terhadap banyaknya kasus pelanggaran HAM terutama oleh pihak militer yang terjadi di bumi Papua.
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan
Keadaan Papua dengan status Otonomi Khusus dari pemerintah tidak demikian menjadikan Papua aman damai serta tentram. Justru di balik itu semua timbul berbagai macam konflik serta pelanggaran-pelanggaran HAM. Hal tersebut terjadi karena memang Papua belum siap untuk diberikan hak Otonomi Khusus untuk mengurus wilayahnya sendiri. Banyaknya potensi Sumber Daya Alam tidak sesuai dengan Sumber Daya Manusia yang dimiliki. Pelanggaran serta banyaknya kasus di Papua sendiri menjadikan Papua suatu daerah yang rawan konflik dan masih sulit menyelesaikannya di ranah hukum.
Wilayah Papua perlu penenganan yang lebih serius lagi dari pemerintah agar dapat tetap menjadi bagian dari Indonesia serta kekayaan alamnya pun dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat Papua sendiri. Penyelesaian dalam pelanggaran HAM juga perlu diperhatikan oleh pemerintah agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.
Penyelesaian yang berlarut-larut akan menjadikan wilayah Papua semakin tidak stabil maka gerakan separatis seperti OPM semakain kuat ingin memisahkan diri dari wilayah Republik Indonesia ini. Peran pemerintah sangatlah penting untuk kembali menstabilkan keadaan di Papua agar masyarakatnya dapat hidup nyaman aman tentram tentunya dengan Sumber Daya Alam yang mereka nikmati sendiri dan tidak dieksploitasi oleh negara lain.
Hak menentukan Nasib Sendiri Adalah Solusi demokratis Bagi Bangsa West Papua
BalasHapus