Oleh:Ernes Pugiye
OPINI NABIRE, MAJALAHMAAPAPUA--Sejak Papua masih belum dikuasai oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) orang asli Papua (OAP) biasa mengetahui, merefleksikan dan kagum akan
adanya misteri segala realitas yang ada. Mereka biasa bangga dengan dirinya
sendiri dan apa saja yang telah berada di tanah Leluhurnya
sendiri
Di sini mereka biasa menemukan segala kenyataan ditemukan
pula adanya hal yang tetap dan berlaku umum. Sesuatu yang tetap dan berlaku umum tidak
hanya dapat ditangkapi melalui indrawi, dapat ditangkap juga melalui pikiran
yang realistis dan pengalaman hidup nyata. Melalui akal dan pengalaman hidup
orang asli Papua telah menemukan diri sebagai manusia sejati yang berasal dari
Papua dan untuk menghadirkan diri mereka bersama tanah kesulungannya guna menciptakan kehidupan yang lebih
baik
Kebersamaan hidup mereka bersama tanah Leluhurnya
merupakan warisan hidup sejati dari para leluhur Papua bagi generasi bangsanya. Titik totak dari
seluruh realitas hidup dan dunia mereka adalah hidup sejati dalam komunitas etnis Papua dengan
segala realitas komunitas leluhurnya komunitas tersebut dijiwai oleh adanya suatu kesadaran bersama
bahwa manusia lebih penting dari segala yang lain di tanah Leluhur
Sebalinya tanah leluhur telah mendapat kedudukan sebagai “mama” yang
telah melahirkan, menghidupkan dan membesarkan mereka. Mereka dengan segala
realitasnya dari semua aspek telah mengalami hidup yang baik secara konkret
dari dan
untuk tanah Papua. Sejarah
telah memperlihatkan bahwa mereka telah lama memaknai nilai hidup yang baik dari dalam kebersamaan sebagai manusia Papua.
Segala potensi alam sudah tentunya memiliki
batas-batas kepemilikan dan saling dapat mengakui dan diakuinya sebagai suatu upaya
untuk menemukan mengembangkan dan mewariskan nilai kemanusiaan
mereka sudah meletakan
peradaban Papua sejak dahulu kala bagi generasi bangsanya
Suasana hidup seperti ini biasanya dikembangkan oleh
setiap manusia dalam menata sistem hidup yang lebih baik maka setiap kita dalam membangun Papua secara baik,
adil dan damai harus perlu hanya menggunakan metode berpikir realistis seturut
pikiran orang asli Papua secara terlebih dahulu. Pendekatan ini tentunya akan
membawa, menuntun mengarahkan setiap kita pada pemahaman yang baik dan utuh
tentang esensi ada dan yang tidak ada dari dan untuk Papua.
Pandangan
Tentang ‘Ada’
Leluhur orang asli Papua telah biasa mengajarkan bahwa
yang ‘ada’ (tota dalam bahasa suku
Mee) itu telah berada dari dan untuk bersama Papua. Menurut persepktif filsafat
Papua, rakyat Papua itu telah berada dalam sejarah yang paling panjang di tanah
leluhur. Itu berarti segala realitas yang telah ber-‘ada’ di tanah leluhur tidak dapat hilang menjadi tidak berada, dan
yang tidak ada tidak mungkin muncul menjadi berada
yang tidak ada adalah tidak
berada, sehingga tidak dapat dipikirkan oleh setiap kita di Papua
yang dapat dipikirkan
hanyalah yang ada saja, yang tidak ada tidak dapat dipikirkan oleh setiap kita.
Jadi, yang ber-ada itu satu, umum, tetap dan tidak
dapat dibagi-bagi serta tidak diintegrasikan secara paksa seperti peristiwa
PEPERA sejak 1969 di Papua demi kepentingan tertentu bagi kelompok kuat
tertentu. Dikatakan demikian, karena membagi yang ada akan menimbulkan
melahirkan banyak yang ada, dan itu tidak mungkin hanya jika telah terbukti
terjadi di luar kehendak bebas orang asli Papua. Secara esensial, yang ada
tidak dijadikan dan tidak dapat musnah. Tidak ada kekuatan apa pun yang dapat
menandingi yang ada.
Tidak ada kekuatan lain lagi yang dapat ditambahkan
atau mengurangi pula terhadap yang ada. Kesempurnaan yang ada digambarkkan
sebagai sebuah buah palem yang jaraknya dari pusat ke permukaan semuanya sama
yang ada di segala tempat,
oleh karenanya tidak ada ruangan yang kosong, maka di luar yang ada masih ada
sesuatu yang lain. Karena itu, alam dan OAP adalah realitas yang telah berada
secara baik adanya dari Papua untuk bersama Papua dalam sejarahnya sendiri
inilah yang harus perlu diperjuangkan bersama bagi
Papua.
“Hidup
Yang Baik” Bagi Papua
“Hidup yang baik” itu telah berada bagi Papua. Karena dalam
keberadaan itu terpancar realitas hidup yang baik dari dan untuk Papua. Menurut pespektif teologis
kontekstual hidup ini berasal dari Allah melalui segala realitas Papua secara
umum teristimewa dalam Sang Mesias dan akan kembali kepada-Nya melalui suatu
kematian yang wajar pada usia lanjut sampai rambut putih.
Kebaikan tersebut bercahaya dalam kedua realitas
tersebut yakni pengungkapan hidup Allah dalam segala dan secara khusus telah
terungkap melalui Putra (Mesias) bersama mereka dan dunianya
rakyat Papua dalam kuasa penyertaan Allah, dengan Putra
dan oleh karena beradanya Roh Tuhan dalam setiap diri mereka hidup yang baik itu telah menjadi milik bersama di tanah leluhur.
Menurut ajaran para Leluhur Papua, tidak ada orang
yang mencabut dan mengadakan hidup mereka Esensi nilai hidup harus selalu perlu
dipertahankan diwariskan dan diperjuangkan dalam komunitas yang telah dibanngun
atas dasar gerakan Mesianis.
Mesias dengan gerakanya sebagai pengasal hidup, tengah
dan tujuan hidup yang baik bagi setiap manusia asli Papua dan segala realitas kesulungan dari semua aspek di Papua
dalam dan bersama Dia, setiap
manusia dan dunianya telah mengalami hidup yang penuh dengan air, susu dan madu
serta padu dan universal.
Hidup baik yang demikian itu adalah awal dan akhir
dari tujuan hidup manusia asli Papua di dunia dan akhirat
nilai hidup sejati inilah
yang telah berada bersama mereka dan dengan alam Leluhurnya pada zaman dulu. Sedang berada dan akan berada bersama mereka bagi masa
depan Papua guna memelihara realitas kebaikan generasi bangsanya. Untuk
itu, orang Papua hanya telah akan membuat tatanan hidup berbudaya yang baik
adanya dengan menggunakan pendekatan budaya, cara berpikir yang konkret dan
berpikir sakralitas dalam berbagai apek di tanah Leluhur.
Dari ulasan di atas, saya secara pribadi merefleksikan
sesungguhnya keberadaan hidup yang baik itu lebih menunjukkan pada kepemilikan komunitas
hidup secara sejati, sistematis dan terstruktural. Orang asli Papua telah biasa
menemukan makna hidup sejati hanya jika mereka telah melaksanakan sistem nilai-nilai
hidup dalam komunitas tersebut.
Konsep komunitas yang biasa dipahami bersama dalam
budaya Papua itu ialah komunitas manusia, baik mereka yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal, para leluhur dan atau komunitas roh-roh halus, komunitas
tanah baik komunitas gunung dan seisinya komunitas bukit
dataran dan rawa serta
seisinya maupun komunitas air yakni seperti komunitas sungai kali dan komunitas
laut danau telaga serta seisinya.
Juga ada komunitas hewan hutan
kayu dan komunitas tumbuh-tumbuhan
serta seisinya, kesemua
komunitas itu telah berada, milik komunitas etinis Papua dan mendapat akar
kesatuan sejatinya dalam komunitas Pengada (Ugatamee,
hokaiboo, Enaa Tenee) dan bergerak menuju kepada-Nya, karena berkenan
disertai oleh-Nya.
Kesemua komunitas di atas merupakan realitas yang
telah terbentuk secara sistematis, terstruktur dan harnomis serta baik adanya.
Di katakan
secara baik adanya karena telah diciptakan seturut gambar dan pikiran Sang
Penda sendiri bagi orang asli Papua.
Realitas ciptaan yang luhur dan ajaib ini telah
diciptakan dan diberikan secara gratis kepada orang asli Papua agar mereka
dapat memiliki, mengelola, menjaga dan melestarikannya demi menciptakan dan
memelihara kebaikan bersama di Papua.
Sebagai makhluk istimewa di antara makhluk yang lain,
juga karena adanya saling mengakui diri, hak-hak kepemilikan asasi dengan yang
lain sebagai manusia sempurna makhluk dialog serta adanya mereka sebagai makhluk
kerja yang melaksanakan tugas Sang Pengada secara setia dan penuh cinta maka
mereka sudah tentunya melaksanakan hidup
yang baik dan sejati menurut kehendak-Nya.
Praktek hidup yang baik dan sejati ini telah dinyatakan bersama dalam
membangun dunia karena setiap mereka dalam mengelola tanah milik para
Leluhurnya sudah dilengkapi dengan akal budi secara istimewa pula. Intinya, misi luhur ini telah dilaksanakan
rakyat asli Papua secara bersama sebagai wujud konkret dari keterlibatan mereka
terhadap misi penciptakan alam semesta Sang Pengada bagi Papua dalam sejarah
inilah cara bagaimana setiap
orang asli Papua bertugas menghargai kepemilikan adat, memelihara, saling
melindungi dan mengadakan realitas hidup yang Baik dalam berbagai aspek.
Perebutanan
tanah adat dan kematian (
OAP
)
Orang asli Papua telah mulai berada bersama hidup
dalam berbagai masalah yang paling berat di dunia sejak orang luar datang
merebut dan mematikan mereka sejarah telah mengajarkan bahwa sejak Papua dikuasai
oleh pemeritah Indonesia pada 1 Mei 1963, rakyat dan negeri Leluhurnya tidak
terlepas dari konflik menjadi sahabat karif bersama mereka
Selanjutnya, pemerintah telah memusnahkan OAP dalam
berbagai bentuk termasuk dengan cara kekerasan dan militerisme. Sudah adanya
berbagai konflik, kekerasan antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia itu
kini masih tetap berjalan meskipun usia Negara RI semakin tua (71 tahun).
Nampaknya, hidup yang baik hanya selalu dialami oleh pemerintah Indonesia di
Papua-Jakarta Sejak pemerintah Ir.Soekarno hingga Joko “Jokowi” Widodo selaku
Presiden RI ke 7, kekerasan dan konflik Papua masih tetap saja bergerak maju
tanpa pengakuan, dialog dan kerja yang baik dari pihak pemerintah terhadap
rakyat Papua.
Tidak pernah ada pemimpin negarawan yang tampil secara
baik dan berjiwa membangun kedamaian bagi warga Papua. Jokowi yang awalnya
diharapkan sebagai pemimpin negarawan justru masih tetap tampil sebagai
politikus yang sedang membawa warganya pada jalan konflik menuju kematian.
Tingginya kematian orang asli Papua di tanah leluhur merupakan bukti nyata atas adanya konflik dan
kekerasan Indonesia dalam massa pemerintahan Jokowi terhadap rakyat Papua
ada data valid dari Team
Khusus Lembagai Dewan Adat Tota Mapiha bahwa jumlah kematian warga asli
Dogiyai-Papua selama tahun 2015-2017 sudah mencapai sebanyak 250 jiwa.
Laporan mereka tersebut hanya berfokus pada proteksi
warga dari lima Distrik saja dalam Kabupaten Dogiyai. Sementara proteksi warga
dari lima Distrik yang lain akan dilaporkan pada kesempatan mendatang
dari sumber itu dikatakan
bahwa warga Dogiyai sebanyak 250 jiwa yang telah meninggal terutama disebabkan
oleh penyebaran penyakit menular seperti penyakit Liver, HIV/AIDS, filiaris dan
penyakit muntaber serta tindakan refresif, kecelakaan mobil dan kekerasan
sejanta oleh TNI/Polri.
Ini hanya contoh konkret yang menunjukkan bahwa Papua
masih ada banyak konflik yang masih belum diselesaikan dalam berbagai aspek,
meskipun Jokowi telah menetapkan sejumlah program nasional bagi Papua seperti
kartu Papua sehat, Papua sejahtera dan kartu Papua pintar. Kesemua program itu
hanya simbolisasi saja dan masih belum pernah mendongkrak berbagai konflik
Papua dalam berbagai aspek.
Jadi, konflik Paapua seperti yang sudah dilaporkan ini
sampai sekarang masih belum dituntaskan secara damai melalui suatu jalan dialog
Jakarta-Papua dan kerja, meskipun Jokowi sejak awalnya telah menjanjikan akan
adanya pelaksanaan dialog tersebut maka kita dapat meramalkan bahwa OAP dan alam Leluhur Papua
tidak akan ada masa depan yang baik dalam bingkai NKRI.
Sekalipun demikian, hidup yang baik itu telah berada karena kekerasan dan konflik
tidak bisa membatalkan realitas kebaikan, kebenaran, tetap akan terungkap dalam sejarah Papua mendatang
dan atau dalam pemerintah Jokowi selanjutnya meskipun Papua masih tetap
diwarnai dengan kekerasan dan konflik antara rakyat Papua dan pemerintah
Indonesia dalam pemerintahan Jokowi.
Atas dasar perjuangan kebenaran dan kedamaian orang
Papua ini, maka komunitas masyarakat Internasional tetap akan memperhatikan dan
memberikan sorotan secara kredibel secara serius bagaimana pemerintah Indonesia menyelesaikan konflik Papua
melalui suatu dialog Jakarta-Papua guna menciptakan Papua, Tanah damai. Oleh
karena itu, dialog adalah kata kunci untuk menuntaskan berbagai konflik Papua
dan sebagai titik balik untuk menetapkan masa depan Papua yang Baik.
Penulis: Mahasiswa pada
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar