

Lukas Enembe Minta Aparat Keamanan
Berhenti Ciptakan Kondisi Rawan di Tanah Papua Dipublikasikan oleh
PapuaUntukSemua pada 09.16 WIT. KOTA JAYAPURA - Gubernur Papua, Lukas Enembe
meminta kepada institusi penegak hukum agar tidak memanfaatkan situasi dan
kondisi Papua untuk mengelola isu serta menciptakan kerawanan di tanah Papua
yang selama ini penuh kedamaian. Ia menegaskan situasi dan kondisi Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat akan selalu aman dan terkendali yang sama dengan
daerah lain di Indonesia dari gangguan keamanan. “Saya harap semua institusi
penegak hukum di Papua bekerja dengan baik. Papua sama dengan daerah lain di
Indonesia, jangan dijadikan tempat untuk mengelola isu dan menciptakan
kerawanan, itu tidak boleh,” tegas Enembe, di Jayapura, Senin (6/7). Lebih
lanjut, tanah Papua harus dijadikan sama dengan Provinsi lain di Indonesia yang
dalam situasi dan kondisi aman, tenang, damai dan tentram dalam melakukan
pembangunan. “Jangan Papua dijadikan untuk mengelola isu, cari jabatan dan
sebagainya,” kembali tegas Gubernur. Ia menjelaskannya bahwa saat ini di
masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman disekitar Kabupaten Paniai sudah
tidak menetap dikampungnya. Sebab mereka merasa terancam dengan adanya aparat
keamanan yang berlaku arogan. Aksi arogansi yang mengakibatkan korban jiwa itu
terjadi baik dalam situasi yang ditutupi dan skenariokan atau secara
transparan. Sehingga ia mengharapkan agar aparat tak usah memakai cara-cara
seperti itu, karena tuduhannya kalau tidak kelompok orang tak dikenal, pastilah
TNI atau Polri. “Tiga lembaga ini yang selalu menjadi tuduhan. Jadi lebih bagus
dalam yang menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan tidak usah lagi dengan
apapun skenarionya, atau cara apapun tidak usah, karena dampaknya pada isu
internalisasi yang sedang terjadi,” ujarnya. Untuk itu, Gubernur mengajak semua
masyarakat Papua jangan persalahkan siapa siapa jika ada terjadi sesuatu,
karena yang ciptakan hal itu adalah kita sendiri. “Kemarin saya lihat TNI yang
suplai senjata dan sudah dijatuhi hukuman. Itu saya pikir orang Papua, ternyata
semuanya orang dari luar Papua. Jadi kita tidak boleh tuduh siapa pun, karena
isu internalisasi terjadi karena kita yang bertugas di Papua salah langkah dan
sebagainya,” ungkapnya. Pengaruh Melanesiaphobia Sebelumnya, pada awal Juni
lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI)
mengakui saat ini sudah berkembang pesat rasa takut berlebihan terhadap sesuatu
yang berkaitan dengan rumpun bangsa Melanesia atau Melanesiaphobia di Papua.
Kondisi ini adalah ancaman bagi eksistensi orang Melanesia di Papua dan
Indonesia. "Saya ingin menegaskan bahwa para kaum migran di Papua
bersama-sama para aparat TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan
diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang Melanesia (melanesiaphobia)
dan inilah salah satu faktor kegagalan integrasi sosial di Papua," kata
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai pada Minggu (7/6).
Kata Natalius, Presiden Joko Widodo mau memberhentikan transmigrasi ke Papua
sebagaimana dirilis sejumlah media hal ini dilakukan lantaran Sumber Daya
Manusia (SDM) warga asli dinilai jauh tertinggal dari warga pendatang. "Transmigrasi
reguler di Papua telah dihentikan pada tahun 2000 atau 15 tahun yang lalu oleh
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Alhilal Hamdi di mana saat
itu saya menjadi staf khusus menteri. Pertimbangan pemberhentian transmigrasi
reguler karena adanya penolakan yang kencang hampir seluruh Indonesia bahkan
konflik berdarah di Sampit dan Sambas," kata Pigai dalam keterangan
tertulis itu. Lebih lanjut Pigai menjelaskan, bersamaan dengan itu di Papua
juga terjadi Kasus Armofa Jayapura yang kejadiannya nyaris mengusir
transmigran. Namun, pihaknya bisa atasi dengan baik atas perintah Presiden
Gusdur, Menteri. "Saya bekerja maksimal untuk eliminasi bias transmigrasi
ini," kata dia. "Pemberhentian transmigrasi reguler juga kita lakukan
setelah kami melihat data migrasi dari 1971 sampai dengan tahun 2000, migrasi
masuk (in migration) di Papua sebanyak 719.866 jiwa dan migrasi keluar (out
migration) hanya 99.614 jiwa setelah diolah dengan sumber data BPS tahun
2000," kata Pigai dalam keterangan tertulisnya. Kebijakan transmigrasi
selanjutnya, kata dia, adalah kebijakan berbasis kerja sama antara daerah atau
disebut (KSAD) berdasarkan permintaan dari daerah. "Untuk Provinsi Papua
terbentur dengan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang menyatakan
bahwa kebijakan ketransmigrasian dilakukan berdasarkan Perdasus serta setelah
penduduk Papua mencapai 25 juta jiwa," kata dia. Dengan demikian, kata
Pigai, jika Presiden berkeinginan memberhentikan transmigrasi secara
keseluruhan maka sebaiknya dilakukan melalui pengaturan mobilitas penduduk baik
berbasis kebijakan yang dilakukan oleh negara (forced migration) dan migrasi
sirkular ke Papua yang justru menimbulkan problem demografis dan problem sosial
yang serius di Papua. Sembari menegaskan bahwa kaum migran di Papua
bersama-sama para aparat TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan
diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang melanesia di Indonesia yang
terdiri dari suku-suku di Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua,
terutama kepada masyarakat di Tanah Papua. "Inilah salah satu faktor
kegagalan integrasi sosial di Papua. Banyak contoh, salah satunya, sejumlah
konflik antara pendatang dan orang Melanesia di Papua di belakangnya ada aparat
keamanan," tegasnya. [Dharapos/MajalahSelangkah] Tags: keamanan , komnas
HAM , kota jayapura , lukas enembe , melanesiaphobia , natalius pigai ,
peristiwa , polri , provinsi papua , tni , utama
Sumber artikel : http://www.papua.us/2015/07/lukas-enembe-minta-aparat-keamanan.html @Papuanesia
Sumber artikel : http://www.papua.us/2015/07/lukas-enembe-minta-aparat-keamanan.html @Papuanesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar